Latest Tweets

Jumat, 18 Maret 2022

Raja Mpo 10 Ribu Roulette Gacor Transfer 24 Jam

slot gacor

Raja Casino Situs Joker Gacor Online Terpercaya di Indonesia

Situs Slot Gacor 2022

MPO GACOR - Raja Slot Ovo merupakan link bandar Mpo Slot Gacor Online Pulsa Dana 24 Jam di Indonesia. Melewati semua bagai Bandar Slot Dana Linkaja serta Situs judi Togle Mpo yang bisa Deposit Pulsa Telkomsel dan XL. Situs Pragmatic Slot Deposit Dana Gopay Raja Casino Mpo Menyediakan Permainan Ribuan suku taruhan Judi Baccarat Mpo Online Dana Pulsa yang terpercaya se-Indonesia. Berbagai Situs Bet Bola, Taruhan Situs Casino Mpo, Bandar Togel, serta Sabung Ayam Mpo Slot Deposit Dana Pulsa. Selama ini Raja Mpo Play telah menjadi Situs Agen Judi Slot Gacor Terpercaya, Agen yang responsif serta ramah dalam bidang pelayanan. Customer service Raja Mpo Online kami standy 24 jam untuk mendukung pemain Bandar Slot Dana Pulsa, Judi Casino Mpo yang dimana akan mempermudah proses deposit ataupun penarikan dana member dengan sangat cepat.

Situs Raja Slot yang merupakan Bandar judi Mpo Roulette online Pulsa berlisensi PACGOR. Tidak perlu ragu untuk segera bergabung bersama Agen Judi Bola Mpo dan Agen live Judi Baccarat Mpo Terpercaya Karena Kami Agen Bola Deposit Pulsa Murah yang Memiliki Licensi izin Resmi PACGOR (Philippine Amusement and Gaming Corporation) dimana izin ini adalah jaminan keamanan pemain saat bermain di situs kami Bandar Game Mpo Slot Deposit Pulsa Terpercaya.

Hanya di Bandar E-games Rajampo anda bisa Bertaruh Atas Deposit Pulsa telkomsel dan XL untuk Permainan Bandar Judi Mpo Slot Online populer dunia seperti E games Habanero Terlengkap dengan tingkat Kemenangan Tertinggi dan Terbaik. Setiap Jackpot yang didapat selalu dibayar dengan proses penarikan dana taruhan yang cepat dan terpercaya dari situs slot online Pulsa resmi. Ditambah Permainan Bandar Togel mpo4d terbaik Via 12 pasaran terlengkap, Cocok untuk kau Mainkan Seperti Tahu Kek , Colok Bebas, Colok Macau Memiliki Diskon terbesar Togel Setiap Pasaran dan Pembayaran yang tidak pernah Nunggak ke member.

slot online png

Mpo Bola Gacor Deposit Ewallet Gopay, Ovo Linkaja dan Go-pay 10 Ribu

Sambil bermain melalui Agen Mpo Slot Gacor deposit Dana Go-pay, Ovo & Linkaja 10000 tanpa potongan dikau bisa terima beberapa keuntungan. Salah satunya keuntungan yang paling dicintai oleh pemain adalah minimum deposit yang betul-betul relatif murah. Dan tidak ada potongan sama sekalipun. Jadi betul-betul memberikan keuntungan untuk player. Karena sira akan memperoleh credit full pantas dengan nominal yang sudah anda transfer ke nomor arah. Keadaan ini pasti berbeda jauh sama yang di aplikasikan oleh situs Judi Online Sicbo 24jam yang lain. Karena situs Judi Online slot lain, wajarnya membebankan ongkos untuk deposit slot gunakan dana.

Slot Gacor populer Sebagai situs Slot deposit dana 10000, gopay, ovo, dan Dana Go-pay, Ovo & Linkaja dengan minimum deposit cuman 10 ribu rupiah saja. Semua tipe permainan yang di datangkan Slot Gacor sebagai produk favorit dalam kelasnya bahkan juga di dunia. Sebagai situs Judi Online slot terbaik dalam kelasnya, Slot Gacor sediakan permainan slot online yang disebut mesin permainan games asli Serupa kesempatan tinggi untuk memperoleh Progessive Jackpot.

Situs Slot Gacor Deposit Dana Bca

Apabila situ sedang mencari situs agen togel terpercaya, anda bisa berhenti mencarinya ketika anda sudah berada di situs ini. Mengapa demikian? Karena Raja Judi Mpo adalah pilihan yang tepat untuk sira. Di situs agen togel terpercaya ini anda tidak perlu khawatir tentang permainan yang fair. Tidak sedikit diluar sana situs agen togel online yang bermain licik kepada membernya. Sebagai contoh, jika situ berhasil menebak Karena jitu angka yang keluar maka nilai angka yang sampeyan pasang akan dirubah. Hasilnya saudara tidak bisa menikmati kemenangan yang seharusnya sira dapatkan.

Pasti ada beberapa dari pembaca artikel http://victoriacslotto.com/assets/kcfinder/upload/files/slot-gacor/master-mpo-deposit-dana/ ini pernah mengalami kecurangan oleh bandar judi abal-abal. Maka dari itu situ harus berhati-hati dalam memilih agen togel online Rajampo. Berbeda dengan Rajampo agen togel online yang sangat menjunjung tinggi fair play sehingga situ bisa bermain dengan tenang. Agen togel online Raja Slot Pulsa bukanlah situs judi abal-abal yang baru muncul kemarin sore. Sepak terjang Rajampo di dunia perjudian tanah air sudah tidak perlu diragukan lagi. Berapapun kemenangan jackpot yang dikau dapatkan sudah pasti dibayarkan jika bermain di situs agen togel terpercaya Rajampo.

Cara Deposit Slot Via Gopay Pada Situs Judi Slot Mpo, Togel Mpo4D dan Judi Bola Mpo
  • Pilih menu Bayar pada halaman utama aplikasi.
  • Pilih bagian Nomor HP.
  • Masukan nomor tujuan.
  • Setelah itu masukan nominal transfer.
  • Klik pada bagian Konfirmasi & Bayar.
  • Masukan PIN GoPay kamu, kemudian akan muncul notifikasi transfer telah berhasil.

Selain menggunakan gopay engkau bisa melakukan deposit menggunakan virtual akun lain seperti LinkAja, Dana dan juga Ovo. Di sini lain, deposit menggunakan pulsa juga tersedia pada situs judi Rajampo ini. Hanya Pakai minimal deposit 10 ribu saja, sira sudah dapat bermain dan berkesempatan menang ratusan hingga jutaan rupiah. Situs yang saya rekomendasikan ini bukan situs abal-abal melainkan situs yang pasti bayar. Jadi sampeyan tidak perlu khawatir dengan berapapun kemenangan yang bisa kamu dapatkan. Daftar situs judi Slot online terpercaya tentu memberikan kemudahan buat sampean semua, apa lagi bisa menggunakan virtual akun lain untuk melakukan deposit.



Tags:raja mpo, slot gacor, mpo slot, slot online gacor, raja mpo gacor, mpo dana, dana slot gacor, situs judi gacor,


Sabtu, 01 Desember 2018

Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi

Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi

Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI

Naskah Sunda kuna (selanjutnya NSK) tersebar di beberapa tempat penyimpanan, baik di dalam maupun di luar negeri, baik tersimpan dengan sistem baku dan sistematis di lembaga penyimpanan maupun yang masih tersebar di masyarakat umum (lih. Ekadjati, 1988; Chambert-Loir & Fathurahman, 1999: 181-188). Berdasarkan penelusuran katalog, baik yang sudah maupun belum diterbitkan, jumlah NSK tidak sebanyak naskah Sunda baru dan naskah Jawa kuna, misalnya. Lembaga yang menyimpan NSK di antaranya adalah Perpustakaan Nasional RI (selanjutnya PNRI) di Jakarta, Museum Sri Baduga di Bandung, Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda, dan Bodleian Library di Inggris (band. Ekadjati, 1988; Rickleff & Voerhoeve, 1977).
Selain di lembaga-lembaga tersebut, NSK juga disimpan di kabuyutan: daerah yang disucikan kelompok masyarakat tertentu di Tatar Sunda, seperti Kabuyutan Ciburuy-Garut dan Kabuyutan Koleang, Jasinga-Bogor. Pada saat ditemukan, dapat diketahui bahwa naskah Sunda kuna bukan lagi menjadi tradisi yang hidup di masyarakat, karena tidak ada seorang pun yang dapat membacanya . Di Ciburuy diketahui ada sekitar 30 naskah yang telah dialih-mediakan oleh Andrea Acri melalui program British Library dan saat ini sedang diusahakan deskripsi singkatnya oleh Undang A. Darsa . Sebelumnya Saleh Danasasmita dkk (1986) melaporkan 27 naskah dari Kabuyutan Ciburuy. Kabuyutan Koléang Cicanggong di Jasinga Bogor rupanya masih menyimpan beberapa NSK, meskipun belum ditelusuri lebih jauh. Seperti diketahui, pada awal abad ke-20, beberapa naskah daun dari wilayah ini diberikan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) dan saat ini menjadi koleksi PNRI (Krom, 1914: 32). Selain itu, tercatat pula beberapa NSK yang disimpan oleh masyarakat perorangan yang tersebar di beberapa daerah, seperti Cianjur dan Bandung .

Di antara yang mengumpulkan dan menyimpan NSK, PNRI bisa disebutkan yang paling banyak. Koleksi naskah PNRI yang sebelumnya disimpan di Museum Pusat, Jakarta (kemudian menjadi Museum Nasional). Menurut catatan Noorduyn (1971: 151), jumlah NSK yang disimpan di Museum Pusat Jakarta berjumlah sekitar empat puluhan naskah.

Namun demikian, hingga saat ini penelitian-penelitian teks-teks Sunda kuna nampak tersendat. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya katalog NSK yang informatif. Padahal, penelitian NSK telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Untuk pertama kalinya, keberadaan NSK diumumkan oleh Netscher (1853: 469-479). NSK tersebut berasal dari Cilegon, Garut (dulu Timbanganten), yang kemudian oleh Bupati Bandung, R. Tumenggung Suria Kerta Adi Ningrat, diberikan kepada BGKW.

K.F. Holle (1867) mengumumkan tiga NSK pemberian Raden Saleh, dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten Geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali (TBG 1867). Tentu, yang diupayakan Holle waktu itu sebenarnya merupakan upaya awal pendeskripsian NSK yang diakuisisi BGKW.

Pada tahun 1872, Cohen Stuart, konservator naskah saat itu, menerbitkan katalog pertama yang memuat deskripsi naskah BGKW, termasuk naskah kropak. Jumlah NSK yang didaftarkan ada 21 naskah, yaitu kropak nomor 406–426 yang berasal dari Bupati Galuh. Namun, deskripsi NSK yang dibuatnya hanya sebatas nomor naskah, ukuran, jumlah halaman, dan judul.

Upaya katalogisasi NSK baru diusahakan kembali oleh Edi S Ekadjati pada tahun 1988. Beliau mendaftarkan 89 NSK koleksi PNRI, termasuk NSK yang sudah diteliti. Sayangnya, deskripsinya sangat ringkas, hanya berupa tabel yang memuat informasi tentang judul , kode naskah, dan jumlah halaman. Deskripsinya belum disertai informasi lain yang dibutuhkan seperti bahasa, aksara, ringkasan isi, dll. Kiranya penyusun katalog mendaftarkan NSK berdasarkan asumsi bahwa peti nomor 15, 16, 17, 18, dan 25 diperkirakan berisi NSK. Ternyata setelah ditelusuri, dalam peti nomor 17, 18, dan 25 tidak terdapat satu pun NSK.

Demikian juga dengan Behrend (1998) yang mendaftarkan hampir semua naskah yang disimpan di PNRI, termasuk di dalamnya NSK. Tetapi hasil inventarisnya perlu diperiksa kembali terutama berkenaan dengan deskripsi NSK yang diberikannya. Di situ, NSK sendiri tidak dimasukkan ke dalam kelompok yang terpisah dalam indeks bahasa yang disusunnya, sehingga dapat menyulitkan upaya penelusuran terhadap NSK yang terdapat di PNRI (Behrend, 1998: 459-596).

Dari uraian di atas, memang upaya katalogisasi NSK telah dilakukan. Namun, karena deskripsi naskah yang diberikan demikian sederhana, sehingga tidak cukup memberikan akses yang memadai bagi para peneliti dalam melakukan penelusuran naskah. Selain itu, deskripsi NSK koleksi PNRI selama ini ditempatkan bersama-sama dengan naskah lain, tidak ditempatkan secara khusus. Padahal, NSK memiliki karakteristik yang berbeda dengan naskah-naskah dari daerah lain, bahkan dengan naskah Sunda (baru). Oleh karena itu, kami menganggap bahwa upaya rekatalogisasi NSK yang ada di PNRI, perlu dilakukan.


Isi Makalah

Pusat perhatian kami dalam tulisan Artikel Bagus yang Ramah SEO ini hanya tertuju pada NSK koleksi PNRI. Tujuannya pun sangat sederhana, yaitu menyajikan deskripsi NSK di PNRI sejauh pengetahuan kami. Tetapi sebelum kita mendiskusikan lebih jauh topik di atas, sebaiknya kami sampaikan beberapa pertimbangan yang kami lakukan dalam menentukan naskah yang dikategorikan sebagai NSK. Beberapa pertimbangan yang kami lakukan dalam menentukan NSK adalah berdasarkan pada:
  1. Aksara. Aksara yang kami maksud adalah aksara Sunda kuna yang memiliki karakter yang mandiri, yang bisa dibedakan dengan jenis-jenis aksara dari daerah lain.
  2. Bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda kuna yang dapat dibedakan dengan bahasa Sunda moderen.
  3. Media. Media yang kami pilih adalah lontar, nipah, bambu, dan daluwang. Meski beberapa naskah nipah berbahasa Jawa kuna, namun kami kategorikan sebagai NSK karena hampir semua naskah berasal dari Jawa Barat. Naskah kertas Eropa hasil alih-aksara atas NSK tidak dideskripsikan, tetapi ditambahkan pada NSK yang dideskripsikan sebagai keterangan bahwa NSK tersebut telah ditransliterasikan.
  4. Kolofon yang mencantumkan tempat penulisan naskah.
  5. Asal naskah, yang memberikan informasi diperolehnya naskah tersebut menjadi koleksi BGKW dan kemudian PNRI.
Pada kesempatan yang baik ini, hal yang akan kita diskusikan terkait dengan hasil penelusuran kami terhadap NSK di PNRI adalah sebagai berikut: (a) gambaran umum NSK di PNRI, (b) bahan tulis NSK, (c) aksara dan NSK, dan (d) waktu dan tempat penulisan NSK berikut pengarang/penyalinnya.

Tentu masalah-masalah tersebut bukan persoalan sederhana, karenanya uraian yang disajikan dalam makalah ini lebih merupakan gambaran umum saja, dan semoga pada akhirnya, menjadi petunjuk bagi siapa saja yang berminat mengkaji NSK secara lebih mendalam.


a. Gambaran umum

Pada umumnya NSK berasal dari wilayah Priangan, seperti Bandung, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Majalengka. Tetapi ada sejumlah kecil NSK yang berasal dari luar wilayah Priangan, seperti dari Jasinga, Tangerang, dan Pekalongan. NSK diperoleh melalui beberapa cara, yakni dengan cara pembelian melalui perantaraan para asisten residen di wilayah yang dipimpinnya. Selain itu, para bangsawan Sunda pada paruh kedua abad ke-19, seperti Bupati Galuh R.A.A. Kusumahdiningrat (1839-1886) dan Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) memberikan NSK kepada BGKW dalam jumlah yang cukup banyak, selain NSK pemberian Raden Saleh dari wilayah Galuh (Holle, 1867). Ada pula NSK yang berasal langsung dari kabuyutan di wilayah Wanareja Garut dan Jasinga Bogor. Proses akuisisi NSK dari wilayah Priangan kepada lembaga BGKW dimulai dari pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Sejak saat itu, setelah mengalami beberapa perubahan kelembagaan sampai menjadi PNRI, koleksi NSK belum bertambah.

NSK koleksi PNRI disimpan dalam laci kabinet (dahulunya peti) yang bernomor koleksi. Penomoran koleksi tidak mengalami perubahan yang berarti, sesuai dengan pengkodean awal yang dilakukan oleh lembaga sebelumnya (BGKW). Dahulunya naskah-naskah lontar disebut ‘kropak’. Sebagian naskah disimpan di kotak kayu, sebagian lagi diapit oleh pengapit kayu. Kebanyakan naskah dibungkus kertas jepang, dan disimpan dalam kotak karton bebas asam.
Dari hasil penelusuran dapat diketahui bahwa NSK yang terdapat di PNRI berjumlah 63 naskah. Lima naskah tidak diketahui lagi keberadaannya, yaitu KBG 74 (Waruga Guru) L 410 (Ratu Pakuan), L 411 (Ratu Pakuan), L 419 (Kawih Paningkes), dan L 639 (Serat Buana Pitu). Artinya, naskah yang ditemukan di PNRI berjumlah 58 naskah. Semua NSK belum dibuatkan mikrofilm , tetapi tahun 2010 sedang diusahakan digitasinya oleh Pusat Studi Sunda bekerja sama dengan PNRI atas prakarsa Ajip Rosidi.

Susunan lempir sebagian naskah telah acak. Apakah ketidak-urutan ini sudah terjadi ketika pertama kali naskah diterima oleh BGKW atau mengalami perubahan kemudian, sulit dipastikan. Tetapi apabila melihat salinan-salinan yang dilakukan Holle, Pleyte, dan Brandes, pada umumnya urutan lempir masih berurutan.

Kondisi fisik naskah bervariatif, tetapi umumnya dalam keadaan cukup baik dan terawat. Naskah-naskah tanpa pengapit kebanyakan telah lapuk, bahkan hampir hancur. Penempatannya pun kadang bercampur dengan naskah lain, seperti naskah L 1** peti 88 yang tercampur dengan naskah lontar dari Bali.

Hanya ada satu NSK yang berilustrasi, yaitu L 626 yang berjudul ‘Sanghyang Swawar Cinta’. Ilustrasi berupa gambar ular dan manusia. Teks Sanghyang Swawar Cinta berisi rajah panjang serta petunjuk peribadatan dan tapa.

Para peneliti Belanda sekaligus kolektor naskah di PNRI seperti K.F. Holle, C.M. Pleyte dan J.L.A Brandes telah mengalihaksarakan beberapa NSK dalam aksara Jawa dan Latin diatas kertas Eropa. Alih-aksara yang dibuat oleh ketiga sarjana tersebut bermanfaat sebagai perbandingan teks, terutama ketika berhadapan dengan naskah yang susunan lempirnya telah acak. Dapat diketahui bahwa beberapa hasil alih-aksara tersebut dilakukan ketika kondisi lempir naskah masih berurutan.

Anggapan umum bahwa kebanyakan NSK merupakan codex uniqus atau berupa naskah tunggal perlu dipertanyakan kembali, karena setelah dilakukan penelusuran ternyata sebagian NSK memiliki salinan pada naskah lain. Salah satu contohnya adalah teks Séwaka Darma yang terdapat dalam naskah L 408, L 424.I, dan L 425; teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang terdapat dalam L 1**, L 624 dan L 630; demikian pula teks Carita Purnawijaya (L 416, L 423, dan L 424.II). Untuk lebih jelasnya pembaca dapat melihat lampiran makalah ini.
NSK koleksi PNRI yang telah diteliti berjumlah 16 naskah, dan memiliki keragaman dalam proses penggarapannya. Dengan demikian, jalan untuk meneliti NSK, setidaknya secara kuantitatif, masih sangat terbuka.


b. Bahan

Bahan yang digunakan sebagai media tulis NSK di PNRI ada empat jenis, yaitu: lontar, nipah, bambu, dan kertas daluang. Bahan yang paling banyak ditemukan di PNRI adalah lontar (33 naskah), kemudian nipah (20 naskah), bambu (3 naskah) dan daluwang (2 naskah).
Lontar dan nipah yang digunakan sebagai media menulis sempat tercatat dalam teks Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621), sebuah teks dari abad ke-16, sebagai salah satu di antara sepuluh media yang digunakan untuk menulis karya pada jamannya.

Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kénana lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring gebang, dingaranan ta ya ceumeung, ini ma iña pikabuyutaneun. (Lempir 14v)
(Diturunkan lagi, tulisan di atas daun lontar, dinamakan carik ‘goresan’, jika ada itu akan mendapat keutamaan, karena bukan untuk (disimpan) di kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan ceumeung ‘hitam’, inilah yang disimpan untuk kabuyutan).

Dari kutipan di atas dapat diketahui dua hal penting yang membedakan antara lontar dan gebang. Pertama, tulisan di atas lontar dinamakan carik (goresan), karena ditulis menggunakan péso pangot (pengutik) dengan cara digores. Sementara tulisan di atas gebang yang dinamakan ceumeung ‘hitam’. Jelas kiranya, bahwa yang dimaksud gebang adalah nipah, yang menunjukkan ciri yang sama karena ditulis menggunakan tinta hitam. Menurut Holle (1882: 17) naskah daun nipah ditulis menggunakan tinta organik yang berasal dari hasil olahan nagasari dan damarsela, sedangkan pena yang digunakan adalah batang lidi pohon aren (Sunda: harupat).
Kedua, perbedaan penggunaan media rupanya turut membedakan fungsi tulisannya. Naskah lontar bukan untuk kabuyutan (lain pikabuyutaneun), melainkan bagi pembaca (atau pendengar) sebagai sarana memperoleh keutamaan (meunang utama), sedangkan naskah nipah memang untuk kabuyutan (pikabuyutaneun). Keterangan ini sesuai dengan kenyataan, karena umumnya naskah lontar berbentuk puisi yang pola metrumnya berkaitan erat dengan carita pantun , tradisi lisan Sunda di masa lalu. Artinya, teks-teks di atas daun lontar, lebih memungkinkan untuk ditampilkan secara lisan dalam sebuah pertunjukan carita pantun, sehingga menjadi pertunjukan yang dikenal luas oleh masyarakat. Sementara naskah nipah, yang hampir semuanya berbentuk prosa didaktis, berisi risalah keagamaan yang diajarkan sang pandita kepada sang séwaka darma. Hal ini diperkuat dengan pengaruh penggunaan bahasa Jawa kuna, sebagai bahasa pengantar keagamaan, yang cukup dominan dalam naskah nipah.
Naskah bambu pada umumnya berisi teks pendek. Dari ketiga naskah bambu yang ditemukan, semuanya berisi teks ringkas keagamaan. Teks Kaleupasan (L 426 B), contohnya, hanya berisi satu baris/ bilah, dan berisi mantra pendek untuk mencapai pembebasan terakhir. Selain itu, tidak ada naskah bambu yang berkolofon. Dan sayangnya sampai sejauh ini, belum ada satupun naskah bambu yang telah diumumkan dan diteliti.

Sedangkan NSK yang ditulis di atas kertas daluwang diperkirakan berasal dari masa yang lebih muda. Hal tersebut terlihat dari penggunaan bahasa Jawa (baru) dan isi naskah yang berupa risalah keagamaan (Islam). Sejauh ini hanya satu naskah daluwang yang telah diumumkan, yaitu teks Waruga Guru (WG) oleh Pleyte (1913:362-404). Teks WG diperkirakan berasal dari abad ke-18. Isinya cukup menarik, yaitu mengemukakan sesuatu dari zaman pra-Islam, tetapi unsur-unsur budaya Islam telah mempengaruhi teks tersebut. Hal tersebut terlihat dari penggunaan kosakata alam, gaib, nabi, dunya; dan penyebutan nama Nabi Adam, Sis, dan Nuh. Itulah kiranya naskah WG dikelompokkan oleh Ekadjati ke dalam naskah dari ‘masa peralihan’ (Ekadjati, 2006: 205).


c. Aksara dan bahasa

Aksara yang digunakan untuk menulis NSK di PNRI dapat dibedakan menjadi tiga jenis aksara. Menurut Noorduyn ketiga aksara tersebut termasuk anggota aksara yang berasal dari India (1971: 151-2). Jenis yang pertama adalah aksara yang diterakan dengan tinta pada daun nipah dan berkaitan erat dengan aksara dalam prasasti-prasasti Jawa kuna. Aksara tipe ini memiliki sistem bunyi yang lebih banyak dibandingkan kedua tipe aksara yang akan dibicarakan kemudian, karena terdapat bunyi retofleks ţ dan đ disamping bunyi dental t dan d; bunyi sibilan ś (palatal) dan ş (retofleks), disamping s (dental). Aksara tipe ini tersedia dalam tabel aksara Holle, yang memerikan aksara naskah daun nipah yang berasal dari Ciburuy, Talaga, dan Galuh (1882), Pigeaud (1967-1970, III: 21 plate 22), dan Undang A Darsa dalam edisi teks Sanghyang Hayu (1998: 135-139).

Aksara tipe kedua, yang diterakan diatas daun lontar, bambu, dan kertas daluwang memiliki kekhasan tersendiri. Bentuk grafisnya menunjukkan perkembangan yang menarik di Tatar Sunda. Prasasti di Jawa Barat yang menggunakan aksara ini adalah prasasti Astana Gede-Kawali yang berasal dari abad ke-14 (Pleyte, 1911: 165). Sistem bunyi yang diwakili oleh aksara tipe ini lebih sederhana dibandingkan dengan tipe yang disebut pertama. Dalam aksara ini tidak ditemukan aksara yang mewakili bunyi ţ, đ, ş, ņ, dan ś. Karena ciri khasnya yang bisa dibedakan dengan jenis aksara daerah yang lain, para peneliti NSK menyebut aksara ini sebagai aksara Sunda kuna. Aksara ini telah digambarkan pada tabel Holle (1882), Pleyte (1913: 423), Atja (1970: 26), Saleh Danasasmita (1987: 175), dan Noorduyn & Teeuw (2006:433-435).
Aksara jenis ketiga agaknya merupakan pengecualian, karena sejauh ini hanya diwakili oleh satu naskah, yaitu L 506 yang berjudul Kala Purbaka. Aksara tipe ini dituliskan di atas daun lontar yang bentuk grafisnya menunjukkan kemiripan dengan aksara pada naskah-naskah yang berasal dari Merapi-Merbabu (Band. Molen, 1983: 293-294 dan Wiryamartana, 1990: lampiran II). Menariknya, naskah ini berasal dari wilayah Pekalongan, bukan dari Jawa Barat, tetapi menggunakan bahasa Sunda kuna. Aksara tipe ini telah digambarkan dalam tabel aksara yang dibuat Gunawan dan Kriswanto (2009: 125).

Bahasa yang digunakan dalam NSK adalah bahasa Sunda kuna dan bahasa Jawa kuna. Di samping itu digunakan juga bahasa Jawa, bahasa Arab, dan bahasa Sansekerta. Bahasa Sunda kuna dan Jawa kuna lebih banyak digunakan. Bahasa-bahasa tersebut tidak berdiri sendiri dalam sebuah teks, melainkan bahasa yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Setiap naskah menunjukkan ciri-ciri bahasa yang dominan digunakan.

Bahasa Sunda kuna yang secara dominan digunakan ditemukan dalam teks Carita Parahyangan (L 406), Carita Purnawijaya (L 416 dan L 423), Sanghyang Siksa Kandang Karesian (L 630 & L 624), Séwaka Darma (L 408), Carita Ratu Pakuan (L 410), Kawih Paningkes (L 419 & L 420), dll. Bahasa Sunda kuna memiliki ciri khas kebahasaan tersediri yang bisa dibedakan dengan bahasa Sunda moderen.

Kajian-kajian bahasa Sunda kuna, terutama kajian leksikologi, telah dilakukan. Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya beberapa kamus dwi-bahasa Sunda kuna-Indonesia (Hermansoemantri, dkk, 1987; Suryani & Undang A. Darsa, 2003; dan ). Noorduyn dan Teeuw mengkaji sistem bunyi dan morfologi Sunda kuna, dan mendaftarkan kata-kata Sunda kuna yang terdapat pada tiga teks puisi Sunda kuna yang disuntingnya (2006: 30-72 dan 331-429). Para peneliti kebahasaan Sunda kuna mengarahkan perhatiannya terutama pada tataran fonologi dan morfologi. Kajian sintaksisnya nyaris tidak ada, hal ini mungkin disebabkan sedikitnya sumber teks prosa Sunda kuna yang telah tersedia.

Penggunaan bahasa Jawa kuna yang dominan antara lain terdapat pada teks Sanghyang Hayu (L 634, L 637, dan L 638), Siksa Guru (L 633), Arjunawiwaha (L 641), dan Bimaswarga (L 623). Yang layak dicatat, pada umumnya penggunaan bahasa Jawa kuna yang dominan terdapat pada naskah nipah dan pada teks yang berbentuk prosa. Kedudukan bahasa Jawa kuna dalam khasanah Sunda kuna telah didiskusikan secara singkat oleh Darsa (1998: 41-48), Ayatrohaédi (1988), dan Noorduyn & Teeuw (2006: 65-68).

Penggunaan bahasa Arab yang dominan terdapat dalam teks Bacaan Shalat (L 421) berisi bacaan shalat dari mulai niat shalat hingga mengucapkan salam dalam bahasa Arab tanpa disertai terjemahan. Meski demikian, terdapat sejumlah kecil kosakata Arab dalam teks-teks Hindu-Buda, seperti dalam teks Carita Parahiyangan (L 406.I), dimana ditemukan kata dunya dan niat.

Bahasa Jawa (baru) ditemukan pada naskah daluwang (KBG 75 dan 76) yang berisi ajaran agama Islam. Pengaruh bahasa Jawa, walaupun tidak dominan, juga terdapat dalam teks Kala Purbaka (L 506).

Bahasa Sansekerta digunakan terutama dalam kosakata serapan dan terdapat dalam siloka-siloka pendek dalam teks prosa, seperti yang terdapat dalam Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621) dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (L 630).


d. Waktu, tempat, dan pengarang

Para penulis NSK jarang mencantumkan angka tahun penulisan dalam kolofon. Berdasarkan NSK yang menyebut angka tahun, naskah paling tua adalah Arjunawiwaha (1256 Ś/1344 M) dan yang paling muda adalah Sanghyang Hayu (1445 Ś/1523 M). Tetapi bila ditambah dengan teks tanpa angka tahun, seperti teks Waruga Guru yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18 (Pleyte: 1913), artinya tradisi penulisan NSK telah berlangsung paling tidak selama empat abad (abad 14–18).

Cara penulis NSK menuliskan waktu karyanya, cukup beragam. Beberapa naskah mencantumkan waktu penulisan secara lengkap (hari, bulan, dan angka tahun), seperti yang terdapat dalam teks Arjunawiwāha (L 641) dan Sang Hyang Hayu (L 638). Ada pula naskah yang hanya mencantumkan angka tahunnya, seperti Sang Hyang Hayu (L 634). Naskah yang hanya mencantumkan bulan penulisan cukup banyak, di antaranya teks Pitutur ning Jalma (L 610), Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621), Bimaswarga (L 623), Sri Ajnyana (L 625), Sanghyang Swawar Cinta (L 626), dan Siksa Guru (L 633). Sedangkan teks yang hanya mencantumkan nama hari saja ditemukan dalam Warugan Lemah (L 622). Yang menjadi catatan menarik, teks yang ditulis di daun lontar tidak ada yang mencantumkan angka tahun.
Ada kecenderungan bahwa NSK ditulis di sebuah batur (petapaan) dan mandala (tempat tinggal kalangan agama) yang terletak di gunung, kecuali teks Carita Jati Mula (L 1097) yang ditulis di laut (sagara wisésa?). Hal ini terlihat dari cukup banyaknya penggunaan kata bukit, gunung, dan giri pada kolofon. Nama gunung tersebut kebanyakan merupakan nama purba, dan umumnya belum teridentifikasi dengan pasti letak geografisnya. Beberapa gunung telah diidentifikasi, seperti Gunung Larang Sri Manganti yang diidentifikasi sebagai nama lama dari Gunung Cikuray (Garut) saat ini . Namun, Gunung Cikuray pun cukup banyak disebut dalam kolofon naskah.
Apabila keterangan dari teks Bujangga Manik (BM) dapat diandalkan, maka beberapa gunung atau daerah penulisan NSK dapat ditelusuri lebih jauh. Contohnya adalah wilayah Mahapawitra, tempat penulisan teks Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621), Sanghyang Hayu (L 634 & L 637), dan Siksa Guru (L 642) yang juga tercatat dalam teks BM (baris 1261) sebagai tanggeran ‘poros’ na panahitan ‘di panahitan’ (sekarang Pulau Panaitan). Demikian juga Gunung Kumbang, tempat penulisan teks Séwaka Darma (L 408), yang tercatat dalam teks BM (baris 1192-1193) sebagai tanggeran ‘poros’ alas Maruyung ‘daerah Maruyung’. Noorduyn & Teeuw menduga bahwa Gunung Kumbang kemungkinan terletak di belahan barat Jawa Tengah, yang di sekitarnya ada Gunung Maruyung (2006: 153).

Dari sumber yang tidak banyak, terbatas pula informasi tentang pengarang (atau penyalin) NSK. Sangat sedikit nama yang dapat diperoleh dari kolofon. Para penulis teks Sunda kuna cenderung menyembunyikan identitasnya. Cukuplah bagi seorang penulis untuk menyebut dirinya sebagai cucu atau buyut seseorang yang sedang bertapa di suatu tempat, seperti cucu Sang Sida (L 610), buyut dari Ni Dawit (L 408), dan buyut Téjanagara (L 626).
Tetapi terdapat satu nama yang cukup menonjol, yaitu Kai Raga. Dia disebut dalam kolofon naskah L 410, L 419, L 423, dan KBG 75. Apakah Kai Raga seorang pengarang atau penyalin naskah-naskah tersebut, belum dapat dipastikan. Tetapi apabila kita melihat bahwa NSK yang berisi teks agama Islam (KBG 75) juga menyebutkan nama Kai Raga sebagai penulis, maka hipotesis sementara mengarahkan kita pada kemungkinan kedua. Atau mungkinkah Kai Raga itu bukan nama, melainkan istilah jabatan ‘juru tulis’ pada masanya?


Penutup

Apa yang kami kemukakan pada kesempatan kali ini hanyalah gambaran umum dari NSK yang tersimpan di PNRI. Ibarat melukis lautan, mungkin upaya kami hanyalah menampilkan permukaan air laut dengan riak-riak kecil yang tampak tenang, tidak menjangkau relung-relung keindahan dari samudera kebudayaan Sunda pada masa lalu. Karena itu kami berharap adanya ‘juru selam’ baru yang mampu menjelajahi lebih dalam khasanah NSK yang kaya akan warna itu.
Leuwih lwangan, kurang tinabeuhan. Pun.

Depok/Salemba, Mei-Juli 2010
Munawar Holil & Aditia Gunawan



Bibliografi

  • Atja, 1968, Tjarita Parahijangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
  • --------, 1970, Ratu Pakuan: tjerita Sunda-kuno dari lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah.
  • Atja dan Saleh Danasasmita, 1981a, Sanghyang Siksa Kandang Karesian; (Naskah Sunda Kuno tahun 1518 Masehi). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  • --------, 1981b, Amanat dari Galunggung (Kropak 632 dari Kanuyutan Ciburuy Bayongbong-Garut). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  • --------, 1981c, Carita Parahiyangan (transkipsi, terjemahan dan catatan). Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
  • Ayatrohaédi, 1988, Serat Dewabuda; Laporan Penelitian. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Ayatrohaédi dan Munawar Holil, 1995, Kawih Paningkes; Alihaksara dan Terjemahan Naskah K. 419 Khasanah Perpustakaan Nasional Jakarta. Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  • Behrend (ed.), T.E., 1998, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Katalog induk naskah-naskah Nusantara Jilid 4. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme Orient.
  • Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman, 1999, Khasanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia.
  • Danasasmita, Saleh et.al., 1986, Kropak 408 (Sewaka Darma) dan Kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian): Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan.
  • Danasasmita, Saleh et.al., 1987, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan.
  • Darsa, Undang A., 1998, Sanghyang Hayu: Kajian Filologi Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran.
  • Darsa, Undang A., Edi S Ekadjati, Mamat Ruhimat, 2004, Darmajati (naskah lontar kropak 423): Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan, dan Terjemahan Teks. Bandung: Universitas Padjadjaran.
  • Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati, 2006, Gambaran Kosmologi Sunda (Kropak 420)Silsilah Prabu Siliwangi, Mantera Aji Cakra, Mantera Darma Pamulih, Ajaran Islam (Kropak 421), Jatiraga (Kropak 422); Studi Pendahuluan, Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan, dan Terjemahan Teks. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
  • Ekadjati, Edi S., 1988, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation.
  • Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa, 1999, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga. Katalog induk naskah-naskah Nusantara Jilid 5. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme Orient.
  • Ekadjati, Edi S, 2001, ‘Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda’. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) Jilid I. Diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé bekerjasama dengan Kiblat Buku Utama. Cetakan pertama (2006).
  • Gunawan, Aditia, 2009, Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka (suntingan dan terjemahan). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
  • Gunawan, Aditia & Agung Kriswanto, 2009, ‘Kala Purbaka: Kisah Batara Kala dalam Teks Sunda Kuna’, Sundalana 8: 94-133. Bandung: Pusat Studi Sunda.
  • Hadish, Yetty Kusmiyati, dkk., 1985, Naskah Sunda Lama di Kabupaten Cianjur. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Barat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Hermansoemantri, Emuch, A. Marzuki, Elis Suryani, 1987, Kamus bahasa Sunda kuna Indonesia. Proyek penunjang Sundanologi Dinas P dan K Prop. Daerah Tingkat 1 Jawa Barat.
  • Holle, K.F., 1867, ‘Vlugtig Berigt Omtrent Eenige Lontar-Handschriften afkomstig uit de Soenda-landen’. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 16:450-70.
  • --------, 1882, Tabel van Oud-en Nieuw-Indische Alphabetten. Bijdrage tot de Paleographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: s’Hage.
  • Krom, N.J & F.D.K. Bosch, 1914, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie. Weltevreden: Albrecht & co.
  • Molen, Wilem v.d, 1983, Javananse Tekskritiek: Een Overzicht en een nieuwe benadering geillustreerd aan de Kunjarakarna. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
  • Netscher, E., 1853, ‘Iets over eenige in de Preanger-regentschappen gevonden Kawi-handschriften’, Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap 1: 469-479.
  • Noorduyn, J., 1962a, ‘Over het eerste gedeelte van de Oud-Soendase Carita Parahyangan’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 118:374-83.
  • --------, 1962b, ‘Het begingedeelte van de Carita Parahyangan; Tekst, vertaling, commentaar’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 118:405-32.
  • --------, 1971, ‘Traces of an Old Sundanese Ramayana Tradition’. Indonesia 12:151-7.
  • --------, 1982, ‘Bujangga Manik’s journeys through Java; Topographical data from old Sundanese source.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138: 413-42.
  • Noorduyn, J. dan A. Teeuw, 2006, Three old Sundanese poems. Leiden: KITLV Press.
  • Notulen van de algemeene en directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (NBG), Deel IV, 1867, Batavia: Lange & Co.
  • --------, Deel XIII, 1875, Batavia: Bruining & Wijt.
  • --------, Deel XV, 1878, Batavia: W. Bruining.
  • --------, Deel XVIII, 1881, Batavia: Bruining & Co.
  • --------, Deel XXI, 1884, Batavia: W. Bruining & Co.
  • --------, Deel XXII, 1885, Batavia: W. Bruining & Co.
  • --------, Deel XXIII, 1886, Batavia: Albrecht & Co.
  • --------, Deel XXVIII,1891, Batavia: Albrecht & Rusche.
  • --------, Deel XXIX, 1892, Batavia: Albrecht & Rusche.
  • --------, Deel XXXI, 1894, Batavia: Albrecht & Rusche.
  • --------, Deel XXXII, 1895, Batavia: Albrecht & Rusche.
  • --------, Deel XLIX, 1897, Batavia: Albrecht & Co; ‘s Hage: M. Nijhoff.
  • --------, Deel L, 1913, Batavia: G. KOLFF & Co; ‘s Gravenhage: M. Nijhoff.
  • --------, Deel LI, 1914, Batavia: G. KOLFF & Co; ‘s Gravenhage: M. Nijhoff.
  • --------, Deel LII, 1914, Batavia: G. KOLFF & Co; ‘s Gravenhage: M. Nijhoff.
  • --------, Deel LIII, 1915, Batavia: G. KOLFF & Co; ‘s Gravenhage: M. Nijhoff.
  • Pigeaud, Theodore G.Th., 1967-70, Literature of Java; Catalogue raisonné of Javanese manuscript in the library of the University of Leiden and other public collection in the Netherlands. The Hague: Nijhoff. Three vols. [KITLV.]
  • Pleyte, C.M., 1913, ‘De Patapaan Adjar Soeka Resi: ander gezegd de kluizenarij op den Goenoeng Padang: Tweede bijdrage tot de kennis van het oude Soenda’. TBG LV: 321-428.
  • --------, 1914a, (met medewerking van Raden Ngabei Poerbatjaraka), ‘Een pseudo-Padjadjaransche kroniek; Derde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda’, Tijdschrift voor Indische Taal, Land-en Volkenkunde (TBG) 56:257-80.
  • --------, 1914b, ‘Poernawidjaja’s Hellevaart of de Volledige Verlossing. Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda.’ Tijdschrift voor Indische Taal, Land-en Volkenkunde (TBG) 16:450-70.
  • Poerbatjaraka, R.M.Ng., 1926, Arjuna-Wiwāha. Tekst en Vertaling. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
  • --------, 1933, ‘Lijst der Javaansche Handscriften in de Boekerij van het Kon. Bat. Genootschap Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.’ Jaarboek 1933.
  • Ricklefs, M.C. dan P. Voorhoeve, 1977, Indonesian Manuscripts in Great Britain. A catalogue of manuscript in Indonesian languages in British public collections. Oxford: Oxford University Press.
  • Setyawati, Kartika et.al., 2002, Katalog naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Ocianie Universitiet Leiden.
  • Stuart, Cohen, 1872, Eerste Vervolg Catalogus der Bibliotheek en Catalogus der Maleische, Javaansche en Kawi Handschriften van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: ‘s Hage, Bruining & Wijt, M. Nijhoff.
  • Suryani, Elis N.S. dan Undang A. Darsa, 2003, ‘KBSKI: Kamus Sunda Kuno Indonesia’. Sumedang: Alqaprint Jatinangor.
  • Wiryamartana, I. Kuntara, 1993, ‘The scriptoria in Merbabu-Merapi area’. Bijdragen tot de taal-, Land- en Volkenkunde 149: 503-9.
  • Wiryamartana, I. Kuntara, dan W. Van der Molen, 2001, ‘The Merapi-Merbabu manuscripts. A negleted collection.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157: 51-64.
  • Zoetmulder, P.J., 2006, Kamus Jawa kuno – Indonesia. Cetakan kelima. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Catatan atas naskah-naskah Sunda (Jawa Barat)

Catatan atas naskah-naskah Sunda (Jawa Barat)

Vivianne Sukanda-Tessier

Diterjemahkan oleh Aditia Gunawan 
Judul asli:  "Note sur les manuscrits soundanais (Java-Ouest)" dalam Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient. Volume 79 N°1, 1992. pp. 277-280.

Sejarah Sunda - Kenyataan bahwa sebagian besar naskah Nusantara tidak disimpan dalam koleksi publik, melainkan dimiliki secara individu, membuktikan bahwa di Indonesia, naskah-naskah koleksi pribadi, sama halnya dengan prasasti-prasasti dan berbagai temuan arkeologis, menjadi salahsatu tujuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Sesungguhnya penemuan sebuah naskah sama pentingnya dan sama kompleksnya dengan penemuan-penemuan patung, tempayan, atau benda-benda yang dikultuskan. Sebagaimana halnya patung yang tidak akan « berbicara » tanpa kajian ikonografis, tanpa adanya kajian filologis, kita tidak akan mampu merekonstruksi kandungan naskah yang ditemukan di rumah penduduk atau di tempat keramat (kabuyutan). 

Sebuah penemuan arkeologis seringkali merupakan peristiwa kebetulan — pembajakan, pembongkaran, penggalian; demikian pula dengan naskah, penemuannya tidak dapat diperkirakan, sulit untuk mengetahui di mana naskah-naskah itu berada, siapa pemiliknya, serta sulit melakukan penyisiran sistematis pada wilayah etnis terkait. Naskah yang paling banyak ditemukan adalah yang masih menjadi pusaka leluhur yang dikeramatkan dan, karena itu, dilindungi secara ketat, hingga naskah tersebut hanya bisa dilihat setahun sekali, dalam kesempatan upacara tradisional, ketika dilantunkan mulai dari matahari terbenam hingga saat matahari terbit. Namun demikian, betapapun kegiatan inventarisasi lengkap bahkan masih belum memungkinkan dalam kondisi sekarang ini, inventarisasi terbatas yang telah saya lakukan mulai dari tahun 1980 di wilayah Jawa Barat, bekerja sama dengan Dr. Hasan Muarif Ambary (Direktur Puslit Arkenas), memungkinkan untuk mengumpulkan sejumlah besar naskah, lebih dari 950 teks muslim yang diperoleh dari 52 koleksi pribadi. 

Ada hubungan erat antara situs arkeologi terkenal dan keberadaan (biasanya diabaikan) naskah di daerah sekitarnya. Sebaliknya, daerah yang kaya akan naskah memungkinkan kita untuk menemukan kembali situs-situs yang terlupakan. Banyak contoh, seperti Gunung Padang, Bojong Galuh, Pamarican, Talaga dan tempat-tempat lainnya. Ini adalah hubungan yang samar, tetapi menjadi jelas bagi kami, yang membuat kami berbicara tentang « arkeo-filologi » .

Penelitian yang dilakukan bersama dengan Puslit Arkenas telah mengantarkan pada pembentukan sebuah koleksi penting (beberapa naskah telah disumbangkan atau dipinjamkan kepada Puslit Arkenas, dan, sedapat mungkin, semuanya telah difotokopi ; koleksi ini juga telah dimikrofilmkan oleh Ford Fondation pada bulan Juli-Agustus 1990), disertai penyusunan katalog yang tebal. Katalog ini akan terbit di Jakarta. Dalam kesempatan ini kami tidak akan memberikan sebuah deskripsi, tetapi kami akan membatasi diri pada pandangan yang lebih umum tentang naskah-naskah Sunda dan masalah-masalah yang muncul dari penelitian dan kajian terhadapnya. 

Tempat-tempatnya
Di samping naskah-naskah yang berasal dari kelompok menak yang sebagian besar dirawat oleh keturunan kaum menak terdahulu di pusat-pusat pemerintahan, dan secara umum tidak lagi dibacakan atau dilantunkan, misalnya Cariosan Prabu Silihwangi dan Babad Ratu Galuh,  naskah-naskah lain berada di tempat-tempat keramat (kabuyutan), di tempat seorang juru kunci (kuncen) yang memiliki hak untuk merawat pusaka, atau di tempat penduduk, yang kemudian, dalam berbagai kondisi, dianggap sebagai pusaka bersama.

Meski secara alamiah, sama halnya dengan tosan aji (keris, bedog, kujang) dan batik (kain sinjang), naskah-naskah diwariskan oleh leluhur umumnya kepada anak tertua, naskah-naskah itu sering dipinjamkan untuk kegiatan ritual keluarga atau kelompok masyarakat. Dengan demikian kita menemukan tradisi yang masih hidup, dan dapat kita bayangkan betapa susahnya meminjam naskah kepada orang-orang yang memiliki peran sosio-kultural yang sangat penting bagi keberadaan sebuah komunitas. 

Pemilik naskah kebanyakan adalah petani, yang melestarikan adat istiadat, sehingga naskah hanya dibacakan dan dilantunkan pada kesempatan upacara-upacara pertanian. Inilah yang menjelaskan bahwa kita terkadang harus pergi jauh ke gunung agar dapat menemukannya dan bahwa tradisi naskah berkaitan dengan seni suara yang hampir punah, yaitu beluk, yang hanya terdapat pada masyarakat pegunungan.

Akhirnya, naskah-naskah keagamaan (fikih, kisah para Nabi, karya-karya tarekat, cerita-cerita Islam, dan lain-lain) lebih sering dipelihara secara pribadi, baik di rumah penduduk, di rumah tokoh agama (lebé, ajengan, kiyai), maupun di sekolah-sekolah agama (pasantrénmadrasah).

Pelestarian dan « penghancuran »
Akibat penggunaan rutin dan pemeliharaan yang seadanya,  pemeliharaan yang dilakukan oleh perorangan menghadapi tantangan. Naskah-naskah mengalami penurunan kualitas secara cepat, biasanya dua atau tiga kali dalam satu abad, menjadi objek produksi sebuah salinan, atau beberapa salinan, ketika eksemplar lebih tua sudah tidak dapat terbaca, terlipat, menghitam oleh waktu, terasapi oleh api, terkotori sidik jari, serta memucat dimakan jaman. Naskah salinan, seringkali proses menyalin itu sendiri, adalah hal yang mahal, sementara profesi penyalin masih berkembang. Salinan dalam aksara arab (pegon) lebih banyak dibandingkan dengan salinan dalam aksara jawa atau sunda, sejak akhir paruh pertama abad ke-20. 

Naskah-naskah yang tidak lagi digunakan tidak dibuang ataupun disingkirkan. Dalam upacara kuno yang sulit ditentukan asal-usulnya, selain yang disimpan di tempat keramat (kabuyutan), naskah dibakar secara ritual, naskah yang baru saja disalin ditempatkan di dekatnya, sementara asap dupa dibumbungkan dan pemiliknya atau kepala adat (puun) membacakan doa-doa (rajah) untuk dewa Hindu-Budha. Abu-abu dikumpulkan secara agama, sebagian dipersembahkan kepada dewa dan yang lainnya disimpan dalam cangkir, yang ke dalamnya dituangkan air mendidih, kemudian diminum oleh pemimpin upacara.  Ayah Nata, berusia hampir seratus tahun, tinggal di Baros (Bandung selatan), menjelaskan kepada saya bahwa aksara-aksara itu tidak dapat hilang, melainkan akan kembali ke asalinya, satu sisi kepada sang pencipta, sisi lainnya kepada manusia, yaitu orang yang diberikan amanah. Itulah sebabnya pemilik dapat meminumnya, atau mewakilkan haknya kepada pemuka adat apabila dia tidak dapat mengetahui mantra-mantra untuk dilafalkan. 

Ayah Nata telah memilih untuk meminum ramuan (ci kopi) ini, setelah membaca mantra sebagai berikut:

  • Ahung (tujuh kali),
  • Ampun, ampun wahai Sang Asal
  • Aku memohon ampun segala ampun
  • Asap dupa membumbung tinggi ke atas
  • Ke atas, kepada Sang Asali
  • Ke bawah, kepada Sang Batara
  • Kepada dewa dan dewi
  • Kepada dewa Naga Raja
  • Kepada dewi Naga Umpi [bawah tanah]
  • Kepada Pohaci, putih, suci [Sri]
  • Putra Siwa, Tuhan angin
  • Aku memohon ampun, ya, ampun
  • semua yang di kahyangan, aku mohon perlindungan
  • Ahung! [tiga kali]
Kemudian beliau menjelaskan bahwa dalam tegukan penghujung ini, tulisan menjadi, dalam arti harfiah, makanan bagi jiwa dan tubuhnya. Tradisi ini diamati pada tahun 1981 di Baros, yang juga tergambar dalam naskah (ms. no. 66). Tanpa mengatakan bahwa ada pinjaman, meskipun hanya identitas, kita dapat melihat sebuah kedekatan dengan « pengorbanan karya-karya tulis » yang dipraktekkan dalam ritual Taoisme pada masa Cina kuno sebagaimana dikutip K. Schipper,  yang terdiri dari pembakaran serta pelarutan abu-abu naskah. 

Tetapi jenis pengrusakan lebih banyak terjadi akibat gejolak politik. Perang kemerdekaan (1945-1949), kemudian pemberontakan Kartosuwiryo (1951-1962) telah menciptakan suasana ketidaknyamanan dan, ketika laki-laki yang sehat secara fisik jauh dari kampung halamannya, telah memicu terjadinya penjarahan, pembakaran dan pencurian. Kemudian, tepatnya pada tahun 1965-1970, sektarianisme otoritas muslim tradisional, yang menganggap bahwa tulisan-tulisan leluhur sebagai bid’ah, juga menjadi penyebab pemusnahan. Untungnya beberapa universitas, yang salah satunya dilaksanakan oleh M. Atmamihardja, menjadi aktor yang mengambil peran, dengan menempatkan kajian naskah-naskah lokal dalam program tugas akhir di Universitas Padjadjaran dan Universitas Pendidikan Indonesia.

Peran sosio-kultural
Di samping naskah-naskah berbahan « kertas » yang diproduksi secara tradisional dari kulit kayu (daluwang), naskah-naskah Islam, yang katalognya baru saja kami selesaikan, ditulis pada kertas Eropa. Kami memahami bahwa, dengan keadaan iklim dan proses konservasi yang rentan, menjadi sangat langka untuk menemukan naskah-naskah dari sebelum abad ke-18. Bagaimanapun tampaknya naskah-naskah tersebut merupakan hasil dari tradisi baru. Meskipun masyarakat Sunda di Jawa Barat tidak selantang tetangganya Jawa, teks-teks pra-Islam rupanya sangat melimpah, terlebih lagi teks-teks yang lebih kontemporer dari berbagai gelombang islamisasi.

Pada masa yang lebih silam (abad ke-14-15), kronik-kronik mengabadikan reaksi dan perjuangan para pangeran untuk tetap memegang erat agama Buddha mereka yang gagal menghadapi proses Islamisasi yang pertama. Ada banyak contoh dari teks-teks ini, yang penting untuk mengetahui sejarah salah satu daerah di Jawa, bukan hanya bersandar pada cerita barat dan interpretasi yang tergesa-gesa, seperti yang terdapat pada « sejarah » Banten, Pajajaran dan Cirebon, untuk menyebut beberapa di antaranya.

Pada periode pertama kesultanan, sebuah aktifitas sastra yang intensif berusaha menghubungkan kembali sebuah silsilah penguasa muslim pada keturunan kerajaan pra-Islam, yang kekuasaannya mencakup segalanya, untuk tetap didalami, untuk mengklaim legitimasi yang dipinjam dari dinasti agung yang terakhir. Dengan demikian Prabu Silihwangi menjadi salah satu penguasa karismatik di mana orang Jawa dan Sunda tidak kehilangan klaim tentang asal-usul yang sama. 

Kegiatan sastra ini dapat ditandai sampai akhir abad ke-18, berkat silsilah-silsilah dan karya-karya sastra, dalam bahasa Arab dengan daftar kata Jawa atau Sunda, kitab-kitab fikih, dasar-dasar Islam (tauhid), legenda orang-orang suci islam, tarekat dan mistik-sufisme. 

Naskah-naskah ini, dalam tradisi yang masih berlangsung di pesisir Jawa termasuk Banten dan Cirebon, menggambarkan sebuah halo prestisius di sekitar keyakinan baru, pada saat merayakan pahlawan-pahlawan keturunan orang suci (seringkali keturunan dari: Adam, Musa, Iskandar Agung, Nabi Hidir, atau Silihwangi) yang diubah perannya, yang menunjukkan rasa adil dan murah hati sebagai sebuah model manusia sempurna (insan kamil), menghadapi musuh-musuhnya yang perannya juga telah diubah. 

Setelah kesultanan yang fana ini jatuh, kegiatan sastra berlanjut sampai abad ke-20, sehingga kita dapat berbicara tentang gelombang ketiga dalam proses islamisasi, baik secara populer maupun secara akidah. Karya-karya ini terdiri dari karya-karya keagamaan, ketekismus (Islam), hagiografi (kisah orang suci), kronik-kronik islamisasi, siklus fiktif (seperti Suryaningrat-Naganingrum), kisah yang dipinjam dari korpus besar melayu-islam, termasuk juga adat, ditulis dalam aksara arab (pégon), hasil pengetahuan pra-islam yang diserap oleh islam: perhitungan penanggalan, perbintangan (dalam hal ini menunjukkan keasliannya), kalender, mantra-mantra (jangjawokan), doa (rajah) dan formula magis lainnya (mantra) atau kutukan, dan teks yang terkait dengan pengultusan Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dan tumbuhan. Menahbiskan tempat-tempat suci dan memperingati tentang bagaimana Islam kesulitan menancapkan pengaruhnya, teks-teks memberikan kesaksian dari sejarah kecil ini;  teks-teks tersebut merupakan sebuah kekayaan historiografis, yang melengkapi tradisi lisan. 

Dipuja sebagai pusaka leluhur dan seringkali dikeramatkan, naskah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keluarga dan kelompok masyarakat. Tidak ada peristiwa besar — upacara pribadi, panen, penyucian rumah atau kampung, penebusan, peringatan hari keagamaan — dapat terjadi tanpa naskah-naskah yang menjadi saksi hidup mereka dalam kebersamaan sebuah kelompok masyarakat.

Dibacakan oleh seorang pembaca, naskah-naskah lalu dinyanyikan bersama oleh semua hadirin. Kegiatan pembacaan atau penyalinan membuat seorang yang dapat membaca teks-teks dalam aksara Arab berada pada sebuah posisi sosial yang diidamkan: mereka adalah penjaga pengetahuan, menjadi pesan dari tulisan suci. 

Elemen filologis
Hanya studi perbandingan teks, di samping analisis karakteristik eksternal naskah, yang memungkinkan kita untuk memutuskan apakah terdapat salinan atas suatu naskah ataukah naskah tersebut merupakan naskah tunggal (unicum). Naskah-naskah yang sampai pada kami relatif baru, tetapi dalam beberapa kasus, warisan linguistik dan budaya memungkinkan kita untuk menentukan waktu penyusunan teks asli. Dari sudut pandang ini, naskah-naskah Nusantara memerlukan sebuah pendekatan spesifik, dengan memperhitungkan aksara, bahan, aturan puitis dan berbagai karakterisik budaya dari etnis yang bersangkutan. 

Dalam kasus naskah-naskah Sunda baru, mukadimah (manggala) dan kolofon, terlepas dari ketidak-akuratannya, memberikan keterangan pada kita tentang waktu penyalinan, penulis dan sponsornya, termasuk juga harganya. Naskah-naskah sering juga mengandung perintah yang ditujukan bagi pembaca, mendesaknya untuk merawat naskah serta berkonsentrasi dengan cara melafalkan mantra, sebelum mengenalkan isinya lebih jauh kepada khalayak luas, dan agar jangan pernah memindahtangankannya kepada peminjam yang lain. 

Karya-karya pengajaran teks-teks dasar keislaman pada umumnya ditulis secara tepat dan dengan gaya kaligrafis. Teks-teks dalam bahasa Arab biasanya ditulis dengan hati-hati; sebaliknya, naskah yang ditulis dalam bahasa Sunda dan aksara Arab (Pegon), tata-tulisnya seringkali diabaikan serta mengandung banyak kesalahan ejaan. 

Ketika kita dihadapkan pada sejumlah salinan dari berbagai daerah, perbandingan yang cermat dari karakteristik-karakteristik dan isinya diperlukan untuk menentukan naskah mana yang lebih layak disunting secara kritis. Dalam ketiadaan hasil inventarisasi, kita sepatutnya berterima kasih kepada penemuan baru, yang akan meruntuhkan hasil kajian yang sudah mapan sebelumnya berkat tersedianya naskah salinan. Dalam hal apapun, penyusunan stema, dalam kondisi seperti ini, sangat tidak pasti dan berisiko. 

Di atas semua kajian filologis, baik secara sastra maupun sejarah, berdasarkan naskah yang tak terhitung jumlahnya, yang disimpan dalam jumlah yang lebih besar dari yang ada dalam koleksi publik, sebuah tugas inventaris, sesistematis mungkin, dengan demikian menjadi penting. Tugas yang berat dan melelahkan, memang, tetapi harus dihargai karena,  sebagaimana dalam arkeologi, setiap penemuan baru kaya akan makna.


Antara Bahasa Halus dan Bahasa & Kasar

Antara Bahasa Halus dan Bahasa & Kasar

 Antara Bahasa "Halus" dan Bahasa "Kasar" -  Seperti halayknya batu kerikil dan pasi. Keduanya sama-sama bahan bangunan yang akan memperkokok bangunan tersebut Akan tetapi mereka beda antara satu sama lain. Begitu pun dengan bahasa, "halus" maupun "kasar" bahasa tetaplah bahasa. Sebuah sara komunikasi, adapun kategori "halus" dan "kasar" itu hanya perbedaan budaya daerah (ciri khas) namun pada dasarnya sama.
Itulah Inonesia, bineka tunggal ika. Kaya akan budaya. (admin KBS)

Bahasa dalam status sosial berpengaruh besar di masyarakat. Jenjang dan tingkatan seseorang kadang dilihat dari cara ia berbahasa. Bahasa juga menjadi tolak ukur di mana standar mutu seseorang dinilai. Kita bisa melihat perbandingan sebuah bahasa sehingga dari sebuah bahasa tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu baik dan kasar. Baik sendiri dibagi lagi menjadi halus dan standar.
Bahasa yang baik, lebih mengarah ke bahasa formal dan halus, dipakai oleh kalangan kelas atas yang menyebut diri mereka kalangan berpendidikan. Sedangkan bahasa yang masuk kategori kasar itu dipakai oleh kalangan bawah, kaum pasar, juga preman. Secara sadar atau tidak, manusia sebagai penutur bahasa, berusaha mengkotak-kotakkan bahasa dan membuat kesenjangan di dalamnya. Entah, atas tujuan apa.
Berdasarkan penguraian di atas, sebuah pertanyaan muncul: Apakah ada bahasa (kata, kalimat dan komponen bahasa yang lain) yang diciptakan untuk tidak boleh diucapkan?
Fungsi kata, kalimat dan komponen bahasa yang lain adalah sebagai penerang, penjelas dan penyampai maksud dalam komunikasi. Apabila ada komponen bahasa yang dilarang untuk diucapkan, akan muncul kombinasi kata “bahasa kejahatan” dan “bahasa kebaikan”. Padahal bahasa sendiri tidak pernah melakukan kesalahan dan dosa apapun karena bersifat abstrak dan bukan makhluk.
Kita bisa melihat Banten, sebuah provinsi yang ada di ujung barat Jawa, sebagai daerah yang dikenal dengan dua bahasa daerahnya, yaitu Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa. Kebanyakan orang mengatakan Bahasa Sunda Banten dan Bahasa Jawa Banten adalah bahasa yang kasar. Pernyataan tersebut pasti bisa menggiring orang lain untuk memahami karakter sosial orang-orang Banten sebagai masyarakat yang kasar. Padahal hal tersebut tidak bisa dibuktikan. Lain hal dengan Bandung atau daerah sekitarnya sebagai penutur Bahasa Sunda. Orang-orang pun mengatakan bahwa Bahasa Sunda Bandung itu Sunda Halus.
Memang, apabila membandingkan Bahasa Sunda Banten dengan Bahasa Sunda Bandung akan terlihat kekontrasan. Kalau dilihat dari Bandung, tentu Bahasa Sunda Banten lebih kasar karena di Bandung ada pembandingnya. Tapi di Banten sendiri seseorang tidak fasih melafalkan Bahasa Sunda Banten. Tidak ada Bahasa Sunda pembanding lain di Banten. Bahasa Sunda Bandung tidak dituturkan di Banten. Jadi pernyataan Bahasa Sunda Banten itu kasar tidak bisa diterima. Hal seperti ini pun terjadi dalam bahasa-bahasa lain.
Dalam Bahasa Indonesia terjadi juga hal serupa di mana ada konotasi positif dan konotasi negatif. Dua hal itu mengarah pada penggunaan rasa di dalam bahasa. Orang-orang akan membedakan bahasa dari dua sisi. Halus dan kasar. Baik dan buruk.
Kita bisa mengambil contoh kata “istri” dan “bini”. Dua kata tersebut dikutip dari KBBI memiliki arti yang sam, perempuan yang sudah dinikahi atau sudah bersuami. Tapi rasa dari “istri” sendiri lebih halus dibanding “bini” yang dinilai lebih kasar. Dari penggunaan bahasa seperti tadi, pola pikir kita akan terbentuk pernyataan baru, yaitu apabila ada orang yang mengucapkan “bini” berarti dia tidak berpendidikan atau kasar.
Sangat berbahaya bukan dampak dari sebuah bahasa. Lalu kalau “bini” menjadi kata yang kasar sehingga menyebabkan isi penuturnya dicap oleh orang yang tidak berpendidikan atau kasar, mengapa kata tersebut diciptakan?


Asal Bahasa
Secara etimologi bahasa diciptakan untuk menyampaikan informasi atau berkomunikasi. Yang menciptakan bahasa adalah masyarakat dan dituturkan oleh masyarakat. Kita bisa melihat perbedaan-perbedaan jenis bahasa dari setiap masyarakat. Bahasa pula mencirikan sebuah masyarakat.
Sebagai manusia, akan lebih baik jika kita tidak mengkotak-kotakkan bahasa, karena dampaknya begitu besar seperti yang tadi dijelaskan.
Masyarakat yang menuturkan bahasa “kasar” tentu akan merasa didiskriminasikan dengan perlakuan tersebut. Padahal berbahasa tidak membuat seseorang berdosa.
Kecurigaan dapat muncul, apakah bahasa digunakan sebagai “alat” untuk menyerang, juga dijadikan sebagai kepentingan beberapa kaum untuk berkuasa atau menyingkirkan kaum lain? Tidak ada jawaban pasti. Pastinya berbahasalah dan menempatkan kata pada tempatnya.


Refleksi
Kita sebagai manusia yang hidup di masyarakat mungkin akan terlihat bijak apabila tidak lagi mengkotak-kotakkan bahasa. Kasta harus segera dihapuskan agar penutur bahasa lain yang dinilai lebih “kasar” tidak merasa didiskriminasi. Karena bahasa pun tidak menjadi sinisme. Nilai dan rasa bahasa tentu akan memengaruhi sejauh dan sekuat apa bahasa itu dalam suatu masyarakat.
Bahasa memang diciptakan dan digunakan untuk suatu masyarakat. Jadi apabila membandingkan dengan masyarakat lain dengan gaya penuturan berbeda, sangatlah naif. Tapi yang pasti jangan meletakkan kata atau kalimat di salah tempat, karena hal yang seperti itu bisa membuat pengaruh negatif ke orang lain. Karena bahasa tercipta untuk berkomunikasi satu sama lain.


Peribahasa Sunda dan Artinya Kategori Huruf C

Peribahasa Sunda dan Artinya Kategori Huruf C
Sumber Gambar

Kategori Huruf Awal (C)

Diterjemaahkan Oleh  Kamus Bahasa Sunda

  • Caang bulan dadamaran
Migawe nu kurang mangpaat.
Artinya : “Mengerjakan yang kurang bermafaat”.
  • Cacag nangkaeun
Hanteu beres, hanteu rata, henteu sampurna.
Artinya : “Tidak beres, tidak rata, tidak sempurna”.
  • Cangkir emas eusi delan 
Omonganana mah alus nepi ka urang jadi percaya jeung kataji, tapi hatena jahat jeung matak bahaya ka urang.
Artinya : “Omongannya bagus sampai kita jadi percaya dan menginginkannya (hal) dan akan berbahaya kepada kita”.
  • Cara bueuk meunang mabuk
Ngeluk bae, teu lémék teu carék, euweuh hojah, euweuh karep, euweuh kahayang sabab era tawa sieun.
Artinya : “Murung saja, tak bicasa tak bicara (ganda yang artinya hanya diam saja), tidak ada keinginan, tidak ada kesukaan (pada hal/ingin), tidak ada kemauan karena malu atau takut.
  • Cara gaang katincak
Anu tadina rame kacida, ayeuna mah jadi jempling pisan.
Artinya : “Yang tadinya rame banget, sekarang mah jadi sepi banget.”
  • Cara jogjog mondok
Carekcok bae, mani gandeng nacer.
Artinya : “Ngomong aja, sangat berisik banget”.
  • Cara simeut hiris, tai kana beuheung beuheung
Pohara bodona, beunang dibobodo atawa ditipu ku batur.
Artinya : “Sangat bodohnya, dapat dibodohi atau diperdaya/ditipu oleh oranglain”.
  • Cecendet mande kiara
Nu leutik nyaruaan anu gede, nu miskin nyaruaan nu beunghar.
Artinya : “Yang kecil menyamai yang besar, yang miskin menyamai yang kaya.”
  • Ceuli lentaheun
Sok gancang nyaritakeun ka batur naon bae anu kadenge, turtaning tacan karuhan eta beja teh bener henteuna.
Artinya : “Suka langsung menceritakan kepada orang lain saja yang didengarnya, padahal belum tentu itu kabar benar salahnya.
  • Cicing dina sihung maung
Nganjrek di jelema anu nyusahkeun atawa bakal nyilakakeun ka diri urang.
Artinya : “Berdiri di jalan yang menyusahkan atau akan mencelakakan kepada diri kita.”
  • Cikaracak ninggang batu laun laun jadi legok
Ku dileukeunan mah sakumaha hesena ge lila lila jadi bisa (najan bodo asal leukeun diajarna lila lila oge tangtu bisa).
Artinya : “Kalau terus-menerus (dikerjakan) seberapa susahnya juga lama-lama jadi bisa (Walau bodoh asalkan rajin lama-lama juga pasti bisa).”
  • Cileuncang mande sagara, cecendet mande kiara, hunyur nandean gunung
Nyaruaan ka jelema anu saluhureun harkatna, darajatna atawa pangabogana.
Artinya : “Menyamakan kepada orang yang lebih tinggi harkan, derajatnya, atau kepunyaannya.”
  • Ciri sabumi cara sadesa
Beda tempatna, beda deui adat jeung kabiasaanana.
Artinya : Beda tempatnya, beda lagi adat dan kebiasaanya.”
  • Clik putih clak herang
Kaluar tian hate anu beresih, rido pisan, teu aya geuneuk maleukmeuk.
Artinya : “Keluar (memeberi) dari hati yang bersih, ikhlas banget, tidak ada penyesalan”.
  • Congo congo ku amis, mun rek mais oge puhuna
Kumaha arek bageurna dinu jadi anak, lamun bapana henteu bageur.
Artinya : “Bagaimana bisa baik menjadi anak, kalau bapaknya tidak baik.


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More